PRASASTI BATU TULIS PALAS PASEMAH DI DESA PALAS PASEMAH, KECAMATAN PALAS, KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

PhotoGrid_1531290876939

Prasasti merupakan sumber sejarah dari masa lampau yang tertulis di atas batu atau logam dan biasanya dikeluarkan oleh seorang penguasa yang pada zaman itu berkuasa di wilayahnya, baik pada tingkat pusat pemerintahan maupun penguasa daerah. Di Provinsi Lampung belum dapat ditemukan secara pasti suatu indikator pusat pemerintahan pada tingkat kerajaan dari masa Hindu-Buddha, meskipun disebutkan adanya sebuah Kerajaan Tulang Bawang, Skala Brak, dan Punggung yang ada di Lampung. Beberapa peninggalan dari masa lampau tersebut menunjukkan bahwa masyarakat pendukungnya bukan dari pusat kerajaan namun masyarakat yang berada di bawah satu kerajaan. Berdasarkan prasasti-prasasti yang pernah ditemukan, menunjukkan bahwa di daerah Lampung pada masa klasik berada di bawah penguasaan Kerajaan Sriwijaya yang pernah mengalami kejayaannya di Nusantara pada 500 Masehi ditangan seorang raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa.

Salah satunya Batu Tulis Palas Pasemah yang terletak di Desa Palas Pasemah, Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan merupakan Prasasti yang ditemukan di Sungai (kali) Pisang anak Sungai Way Sekampung yang menandakan bahwa Lampung berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Pallawa dan bahasa Melayu, yang berisi 13 baris. Diperkirakan, prasasti itu berasal dari abad ke-7 Masehi yang isinya merupakan kutukan bagi orang-orang yang tidak tunduk pada kerajaan Sriwijaya.

Menurut Pak Sahidin, yang menjaga serta mengurus peninggalan sejarah Batu Bertulis itu menceritakan, bahwa Batu Bertulis tersebut ditemukan ketika terdapat dua orang pemuda kampung yang berbeda suku berasal dari Pagar Alam, Sumatera Selatan dan Cirebon, Jawa Barat. Walaupun kedua pemuda tersebut berbeda suku namun mereka sudah bersahabat sejak kecil dan kesehariannya membantu orang tuanya mulai dari bercocok tanam hingga mencari ikan di Desa Palas Pasemah.

“Mereka merupakan perantau yang ikut dengan orangtuanya masing-masing untuk mengadu nasib di Desa Palas Pasemah ini, kalau nama kedua pemuda itu katanya bernama Ujang yang berasal dari Pagar Alam, Sumatera Selatan dan Asep berasal dari Cirebon, Jawa Barat. Tapi saya tidak tahu pasti benar dan tidaknya nama mereka, yang jelas seperti itu ceritanya”, kata Pak Sahidin.

Hari Jumat 5 April 1956, kata Pak Sahidin, kedua pemuda itu pergi mencari ikan seperti biasa. Mereka pergi menuju Kali (Sungai) Pisang yang saat itu airnya sedang surut. Walaupun di kali tersebut banyak sekali baru yang terhampar, namun ikan yang ada disana cukup banyak. Saat sampai di kali tersebut, pemuda yang bernama Ujang tiba-tiba merasa perutnya mulas dan ingin membuang air besar.

“Ujang pergi ke tengah Kali Pisang itu, mencari tempat yang nyaman untuk nongkrong sembari buang hajat. Ujang duduk diatas batu yang berukuran agak besar, dan diatas batu itulah Ujang buang air besar. Baru saja selesai, tiba-tiba Ujang jatuh dari batu yang ditongkronginya itu dan pingsan,” kata Pak Sahidin.

Asep yang yang melihat kejadian itu, merasa kebingungan karena Ujang tiba-tiba terjatuh dan pingsan. Lalu Asep meminta pertolongan dengan orang yang ada disekitar Kali Pisang itu, untuk membantu temannya Ujang dibawa pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah Ujang, ternyata pemuda bernama Asep ini kerasukan mahluk gahib dan memaki-maki Ujang yang saat itu belum sadarkan diri dari pingsannya. Makiannya Asep itu, ‘Kamu (Ujang) kurang ajar, telah menghina dan mengotori (memberaki) tempatnya. kalau Ujang mau sembuh dan sehat lagi, maka harus memotong kambing hitam’,” katanya.

Akhirnya warga memanggil para petua desa untuk menyembuhkan Asep yang kesurupan, setelah petua desa datang menemui Asep dan Ujang dan menanyakan kronologis ceritanya. Para petua desa dan warga pergi ke sungai tempat batu yang dibicarakan itu kemudian membersihkannya dan disana terdapat tulisan kuno yang tidak dimengerti oleh warga arti dan makna tulisan kuno yang ada di batu tersebut. Kemudian hasil temuan itu telah dilaporkan ke pihak yang berwenang untuk dilestarikan.

Sebelum hasil temuan tersebut dilaporkan, warga yang tinggal di Desa Palas Pasemah ini secara sukarela memotong kambing hitam demi menuruti permintaan dari makhluk gaib yang telah merasuki tubuh Ujang dan Asep untuk kesembuhan dan keselamatan juga agar tidak terjadi sesuatu di Desa Palas Pasemah.

“Atas izin Allah SWT, Ujang dan Asep akhirnya sembuh dan sehat kembali seperti sediakala. Setelah peristiwa itu hingga saat ini, saya tidak tahu lemana kedua pemuda tersebut” ungkpanya.

Prasasti Batu Bertulis Palas Pasemah yang berbentuk setengah bulat-lonjong, dengan tinggi 64 cm, lebar 75 cm, tebal 20 cm itu merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang ditulis dalam 13 baris dan berhuruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Namun dari baris ke 1 sampai 3 hilang karena usang termakan usia, sehingga isi naskah yang tertulis itu tidak dapat terbaca secara jelas dan lengkap dan sulit bagi kita untuk memahami isinya. Dari artikel yang ditemukan, terdapat pembahasan mengenai Prasasti Batu Palas Pasemah oleh Prof. Dr. Buchari yang berjudul “An Old Malay Incription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampung)”, dalam buku “Kumpulan Makalah Pra Seminar Penelitian Sriwijaya”, pusat penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, Jakarta, 1979.

Seperti yang tertulis dalam buku panduan atau buku yang dibuat untuk para pengunjung, diperkirakan isi atau arti tulisan di Prasasti Palas Pasemah tersebut isinya tentang kutukan bagi mereka yang tidak patuh dan tunduk pada penguasa ataupun Raja Kerajaan Sriwijaya. Prasasti Palas Pasemah tersebut, tidak memuat angka tahun dalam pembuatannya. Namun berdasarkan ilmu tentang tulisan kuno (palaeografi), prasasti tersebut berasal dari zaman Hindu-Budha yang diperkirakan dibuat sekitar abad ke-VII sampai ke-IX Masehi.

Dibawah ini merupakan tulisan berhuruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno yang ada di Prasasti Batu Bertulis Palas Pasemah tersebut:

(1) siddha kita hamwan wari awai. kandra kayet ni pai hu (mpa an). (2) namuha ulu lawan tandrum luah maka matai tandrun luah wi (nunupaiihumapa). (3) an hankairu muah. kayet nihumpa unai tunai. unmeteng (bhakti ni ulun). (4) haraki unai tunai. kita sawanakta dewata maharddhika san nidhana mangra (ksa yang kadatuan). (5) di sriwijaya. kita tuwi tandrum luah wanakta dewata mulayang parsumpaha (n. parawis. kada). (6) ci urang di dalangna bhumi ajnana kadatuanku ini pewaris. Drohaka wanu (n. samawuddhi la). (7) wan drohaka. manujari drohaka. niujari drohaka. tahu din drohaka (tida ya marpadah). (8) tida ya bhakti tatwa arjjawa di yaku dnan di yang nigalar kkusanyasa datua niwunuh ya su (mpah ni). (9) suruh tapik mulang parwwa (dnanda) tu sriwijaya talu muah ya dnan gotra santanana. tathapi sa (wana). (10) kna yang wuatna jahat maka lanit urang maka sakit maka gila mantraganda wisaprayoga upah tua ta (mwal sa). (11) ramwat kasihan wasikarana ityewarnadi janan muwah ya siddha pulang ka ya muah yang dosana wu (a). (12). tna jahat inan. ini grang kadaci ya bhakti tatwa arjjwa di yaku dnan di yang nigalarkku sanyasa datua santi muah (ka). (13) wuattana dnan gotra santanana smarddha swastha niroga nirupadrawa subhiksa muah yang wanuana parawis.

Terjemahan dari ulisan Pallawa dan bahasa Melayu Kuno yang telah dilakukan riset oleh Boechari dan para ahli sejarah tersebut adalah:

1 sampai nomor 4, merupakan salam, hormat kepada semua dewa, yang maha kuat, yang melindungi kerajaan. (5) Sriwijaya, hormat juga kepada tadrum luah wahai, dan semua dewa yang mengawasi sumpah kutukan ini (jika). (6) Ada orang atau rakyat di bawah kekuasanku yang tunduk pada kerajaan yang memberontak, (berkomplot dengan). (7) Pemberontak, bicara dengan para pemberontak, tahu pemberontak (yang tidak menghormatiku). (8) Tidak tunduk takzim dan setia padaku dan bagi mereka yang yang dinobatkan dengan tuntutan datu, (orang-orang tersebut) akan terbunuh oleh (sumpah kutukan ini). (9) dan kepada penguasa (Gubernur) kerajaan sriwijaya diperintahkan untuk menghancurkannya, dan mereka akan dihukum bersama (termasuk) seluruh anggota marga dan keluarganya. juga (sama). (10) orang yang berniat buruk, (seperti orang yang) membuat prang menghilang. membuat orang sakit, membuat orang gila, mengucapkan kata-kata magis (jampi-jampi), meracuni orang dengan upas dan tuba, dengan racun yang terbuat dari akar-akaran dan semua jenis (tanaman). (11) merambat, menjalankan ilmu pengasih (supaya orang jatuh cinta), melecehkan orang dengan guna-guna, biarlah mereka dijatuhkan dari keberuntungan, dan dibenci masyarakat. (12) karena sangat berlaku buruk. tetapi mereka patuh dan setia kepadaku, dan mereka kunobatkan menjadi datuk akan memperoleh (segala) keberuntungan. (13) dalam usahanya termasuk marga dan keluarga mereka. dan sukses itu, (memberi) sejahtera, sehat, aman, yang berlimpah kepada Negara.

Tinggalkan komentar