Renjana dalam novel Tuhan Maha Romantis bagian 1

“Seberapa yakin kamu bisa menjaga, merawat, dan menumbuhkan seseorang menuju derajat kehidupan yang lebih tinggi, sebesar itulah cintamu padanya. Cinta, pada awalnya adalah keyakinan, namun ia lumpuh tanpa diikuti dengan kemampuan.”

Depok, 2013

Belum ada kata ‘apa kabar’ atau sekadar ‘hai’ yang terucap dari kamu maupun aku, yang menandakan bahwa percakapan kita harus segera dimulai. Tapi, seperti ada kekuatan lain yang hadir, yang memaksa kita untuk bungkam. Kamu, yang biasa berekspresi ini-itu tanpa malu-malu, mengapa tak bicara lebih dulu? Dan aku, mengapa aku mendadak gagu? Aku menangkap pesan dari ekspresi itu, sinyal serupa yang coba kita pancarkan dengan gelombang masing-masing: kita sama-sama tak tahu jawabnya apa.

Lelah berlalu. Tiga ratus detik yang kita habiskan dengan mulut terkunci, dan entah kenapa kita masih betah di sini. Aku sendiri masih nyaman dengan kamu yang diam. Kali ini, tiada resah atau gundah yang bisa jadi alasan untuk pergi duluan.

“Kamu masih rajin nulis, Dek?”

Kebisuan yang telah kita bangun akhirnya pecah oleh kalimat tanya yang terkesan dibuat-buat. Siapapun tahu itu. Seperti memang disiapkan untuk sekedar memulai percakapan, karena bukan itu yang benar-benar ingin kamu ucapkan. Lima tahun sejak kepergianmu, ini kali pertama aku mendengar lagi suara itu. Tidak banyak berubah. Nada suaramu tidak jauh berbeda dengan lima tahun yang lalu, hanya saja nampak sedikit ragu. Kamu lantas menatapku, tepat di bola mata. Tatapan teduh itu seolah mengulangi pertanyaanmu yang belum juga kujawab.

Tampaknya kamu mulai biasa dengan suasana ini. Sedang aku masih saja canggung.

“Masih. Dua bukuku udah terbit. Besok siang rencananya bakal ada launching buku ketiga. Kumpulan prosa-prosa, kayak yang dulu sering ditulis di blog

Aku menjawab sambil nyengir, senyum yang juga dibuat-buat. Entah kamu masih ingat atau tidak tentang blog-ku. Seberapa berkesan pun kenangan kita waktu itu, lima tahun adalah waktu yang sangat cukup untuk melupakannya.

“Hebat ya, udah kukira. Itu mimpi kamu dari dulu, kan? Menginspirasi orang lewat tulisan. Udah lama kayaknya aku gak mampir ke blog kamu, Dek. Masih yang lama?”

“Masih Kak, cuma sekarang ganti dot com. Udah hampir nerbitin tiga buku,

masa masih pake WordPress”

Kamu tersenyum. Sepertinyang ini tulus.

Aku mulai terbiasa. Menyembunyikan kegugupan dan mencoba untuk lebih cair. Jangan sampai aku terlihat canggung.

Kak, sapaan itu kini terasa asing. Bukan hanya di bibir, tapi juga dalam pikir. Kamu bukan lagi kakak kelasku. Sekarang kita sama, sama-sama sudah lulus, sama-sama sudah tak kuliah. Aku sekarang penulis, dan kau? Aku tak tahu apa aktivitasmu sekarang. Sudahlah, toh aku belum punya panggilan baru buatmu.

“Lima tahun gak ketemu, ke mana aja Kak?”

Kalimat itu akhirnya meluncur juga. Pertanyaan yang sudah lima tahun tertahan, tersimpan dan terkunci rapat di bagian paling dalam dari memori otak yang biasa aku gunakan. Pertanyaan yang mungkin, bila kamu jawab, akan membuatku mengerti dengan keadaan yang kamu rasakan. Pertanyaan yang mungkin, bila kamu berterus terang, mampu merobohkan dinding prasangka yang telah terbangun sendirinya sejak lama. Berterus terang tentang nomor yang tidak bisa dihubungi, tentang akun-akun yang mendadak dihapus, dan semua informasi yang selama ini seolah kamu rahasiakan.

“Menurut kamu, aku ke mana?”

“Ke Planet Mars mungkin, bosen hidup di bumi” “Bukan. Aku mati suri”

“Oke, dikubur di mana selama ini?” “Tebak.. “

“Kak, jujur ya, aku lagi gak pengen bercanda! Dan mungkin, pertanyaan ini pertanyaan paling serius yang pernah aku tanyain ke Kakak selama aku ngenal Kakak.”

Nadaku meninggi tak terkendali. Rasa penasaranku hampir kalah oleh kesal. Lima tahun aku hidup di bawah bayang-bayang pertanyaan tentang keberadaanmu. Sementara kamu seperti menganggap enteng semua ini. Seolah-olah lima tahun yang aku jalani dengan rasa kehilangan sekaligus penasaran ini hanyalah cerita tentang bocah kecil yang merengek karena

tidak dibelikan mainan. Kamu tidak mengerti, atau pura-pura tidak mengerti?

Lima tahun yang lalu kamu hilang tanpa pesan apapun.  Ingat betul aku, kalimat yang terakhir kamu sampaikan lewat sms: “Kamu pasti bisa jadi penulis hebat, Dek. Jadi penulis yang menginspirasi banyak orang. Jangan berhenti nulis ya, pasti bisa. Oh iya, kuliah jangan sampe dilupain :)”. Aku masih menyimpan pesan itu. Pesan terakhir setelah kamu yudisium. Pesan terakhir sebelum kamu hilang. Teman-temanmu tidak ada yang tahu, semua nomor keluargamu yang kudapat dari mencari ke sana ke mari mendadak tidak bisa dihubungi. Beberapa hari kemudian kucoba datangi kampung halamanmu, rumahmu kosong. Semua tetanggamu mengaku tidak tahu. Sampai kulapor pada polisi: “Proses pencarian masih kami lakukan,” selalu begitu jawabnya. Entahlah, mereka benar- benar mencarimu atau tidak, yang jelas aku belum juga dapat kabar tentangmu—sama sekali.

“Apa kabar kamu lima tahun ini, Dek?” “Jawab dulu pertanyaan aku, Kak”

Gak tahu harus mulai dari mana.”

“Dari kepergian Kakak yang tiba-tiba. Yang gak jelas kabarnya. Habis yudisium itu, Kakak.. Kakak pergi ke mana?”

Kamu kembali diam. Menatapku dengan sorot yang tak lagi teduh. Seperti ada ribuan kata yang tertahan tak terungkapkan. Pipimu mulai basah. Semenjak mengenalmu aku tak pernah melihat kamu menangis. Kamu kemanakan wajah innocence itu? Atau ada yang mencurinya? Siapa? Apa

yang terjadi padamu selama lima tahun ini sampai kamu jadi cengeng begini? Sebagian diriku mulai merasa bersalah.

“Aku.. Aku selama ini tinggal di Wellington, New Zealand”

Kamu mulai bercerita. Aku hanya ingin diam tertegun. Menatap dan mendengarkanmu tanpa mau ada cerita yang kulewatkan. Dan… bagaimana caranya menyembunyikan semua ini? Bahwa duduk di hadapmu, mendengarkan ceritamu, aku menyerah. Menjadi orang tak berdaya yang siap menjadi tawananmu kembali—memangnya sejak kapan aku lepas dari penjaramu?

“Ayahku dituduh teroris. Selama semester terakhir aku kuliah, ia jadi buronan. Aku juga gak tau dia kemana, keluargaku juga gak ada yang tahu. Sampai akhirnya setelah aku yudisium, ayahku datang, langsung ngajak aku sama keluarga ikut sama dia. Handphone kami, sekeluarga, langsung dibuang sembarangan dalam kondisi mati. Ayah gak banyak ngomong waktu itu, dia cuma bilang, kita bakal pergi ke tempat di mana kami bisa hidup tenang. Sampai di Bandara, aku masih belum tau bakal ke mana, sampai akhirnya Ayah ngasih tiket ke kami. Ternyata kami bakal ke New Zealand. Aku coba ngabarin kamu lewat internet, tapi ayah bilang, demi keamanan, aku gak boleh berkomunikasi sama sekali dengan siapa pun di Indonesia. Semua akunku di internet di-deaktifin. Bahkan, di Wellington, aku sama sekali gak dibolehin bersinggungan dengan yang namanya internet. Aku bener-bener diisolir.”

Sulit kupercaya, tapi harus. Aku tak punya pilihan.

“Sekarang, udah aman?”

Gak tau. Buat aku sih aman. Keluargaku masih di New Zealand, ayahku udah punya usaha di sana. Kayaknya gak mungkin pulang lagi ke Indonesia”

“Kakak?”

“Aku ke sini gak bilang ayahku dulu, jadi gak bisa lama-lama, malam ini

harus ke bandara untuk terbang ke New Zealand lagi”

“Jadi, Kakak bela-belain jauh-jauh ke Indonesia tanpa bilang ayah Kakak,

cuma untuk beberapa jam? Buat apa?”

Kita kembali beku dalam detik yang hening. Dua cangkir kopi di hadapan kita mulai kehilangan panasnya bahkan sebelum kita sentuh. Dan andai mereka bisa bicara, barangkali hal yang paling ingin mereka ucapkan adalah meminta kita untuk saling bicara. Diam kita menjangkitkan sepi yang menular.

“Buat kamu, Dek”

Kalimat itu kamu lontarkan begitu saja. Enteng, seperti tanpa pretensi. Dinding pertahananku runtuh. Kalimat terakhirmu membawa kembali semua kenangan-kenangan yang sempat kucoba kubur tapi tak berhasil: tempat dimana pertama kali kamu menyapaku, prosa-prosa rindu yang kutulis untukmu, surat-surat yang seolah tak beralamat padahal itu jelas- jelas buatmu, juga perjumpaan-perjumpaan kecil tak sengaja kita. Bertahun-tahun aku berbelasungkawa dan mencoba mengubur mereka. Tak sepenuhnya berhasil memang, tapi setidaknya aku telah meninggalkan  kenangan-kenangan  itu  di  sebuah  tempat  yang  telah

kulupa  peta  jalannya. Kini, kamu membawa mereka kembali padaku, mengintervensi otakku hingga ia tak mampu lagi melawan.

Aku menyerah. Pertanyaanku telah terjawab. Semua sudah jelas. Kini, giliran aku yang makin gagu. Giliran mataku yang berkaca-kaca, giliran pipiku yang becek. Harus kuakui selama ini aku merindukanmu, tapi selama itu aku tidak pernah menangis sepedih ini.

Kali ini, cuma satu kata itu yang terpikir untuk diucap.

“Maaf…” “Untuk apa?” “Semuanya”

Loh, emangnya kamu salah apa. Masih aneh aja kamu, Dek. Aku yang seharusnya minta maaf, pergi tiba-tiba. Maaf sudah buat kamu bingung.”

“Aku…”

Kalimatku tertahan di sana.

“Kamu sendiri. Belum jawab pertanyaanku. Apa kabar kamu lima tahun

ini, selain udah hampir nerbitin tiga buku?”

Aku mencoba menenangkan diri. Mengambil nafas pelan-pelan, dan mengusap air mata dengan lengan baju. Mencoba untuk mengimbangi kamu yang sudah mulai tenang.

“Kelihatannya?”

“Makin gante” “Kakak juga”

“Aku makin ganteng? Hei Dek, lima tahun di luar negeri, aku nih masih

cewek loh!”

Aku terseyum. Kali ini tulus meski agak kaku. Senyum yang melengkung di atas kenyataan dan kesadaran bahwa ternyata kamu masih ada, masih baik-baik saja, dan masih seperti dulu. Kamu juga tersenyum dengan manis, senyum yang jika sore ini kamu jadi pulang, mungkin jadi senyum terakhir yang dipajang di depan mataku.

“Oh iya, ini, khusus aku bawa dari New Zealand buat kamu”

Kamu menyodorkan sebuah bungkusan.

“Apa ini, Kak?” “Tebak..” “Bom?”

Kamu terkekeh.

“Bukan ya? Pakean kotor? Mau nitip dilondriin Kak?” “Emangnya kamu, gak pernah nyuci sendiri.” “Sekarang udah jarang ngelondri, kok. Suer

Dicuciin ibu”

Dasar Adek, gak berubah. Belum bisa nebak juga ya itu isinya apa? Hmm.. Aku kasih clue deh..”

“Sebenernya  gak  tertarik  buat  nebak.  Tapi,  yaudah  deh,  biar  seneng. Kasian, jauh-jauh dari New Zealand”

Heh, aku ingin menguji tingkat intelektualitas kamu Dek setelah lima tahun gak ketemu”

“Siapa takut!”

“Jadi, bungkusan ini isinya buah. Dulu, buah ini dibawa sama Isabel Fraser dari Cina ke New Zealand. Nah, sekarang buah ini jadi ciri khas New Zealand. Udah bisa nebak?”

“Duren Montong!” “Dodol!”

“Dodol? Jadi ini isinya dodol? Katanya dibawa jauh-jauh dari luar negeri. Yah, ini mah di Bandung juga seabrek

“Satu lagi. Dulu, kamu pernah sengaja beliin aku buah ini, karena kamu tahu aku belum pernah nyobain sama sekali”

“Kiwi.”

“Yap! Akhirnya. Aku seneng kamu bisa jawab, meski di sisi lain aku sedih, ternyata tingkat intelektualitas kamu turun drastis, ya”

“Bisa jadi iya, udah lima tahun ini gak ada temen yang biasa diajak debat dan olok-olokan”

Kamu tak membalas lagi. Kita kembali membisu. Kenangan-kenangan itu kini benar-benar membayangi, bertengger dengan manis mengisi semua ruang dalam pikiran. Ini sudah lima tahun sejak kita tak bertemu. Rinduku telah sampai di titik renjana. Tapi, kenapa kita harus bertemu dalam situasi seperti ini?

Aku mencoba memecah suasana dengan meraih bungkusan buah Kiwi yang sedari tadi masih menggantung di tanganmu. Dengan posisi memegang bagian atas bungkusan, yang tak juga kamu lepaskan.

“Tunggu dulu, Dek. Karena ini aku bawa jauh-jauh, pertama, kamu makannya harus sedikit-sedikit. Terus, jangan lupa ditaruh…..”

Kalimatmu berhenti sebelum selesai. Kamu tiba-tiba membisu. Terperangah. Seperti melihat sesuatu yang tidak biasa. Atau sesuatu yang tidak bisa kamu terima.

Dapat kulihat dengan jelas pandanganmu jatuh ke jari-jari tanganku, yang sedari tadi masih melekat pada bungkusan Kiwi.

“Itu cincin…”

Aku terkesiap. Ucapanmu menyadarkanku akan statusku saat ini. Cincin yang melingkar di jari manis tanganku ini, adalah bukti pertunanganku

dengan seseorang. Anak teman ayahku yang dikenalkannya satu bulan yang lalu.

“Kamu, udah nikah?”

Kamu melanjutkan ucapan yang tadi sempat tertahan.

Lagi, aku goyah. Dan lagi, mulutku kamu buat beku. Tema yang paling aku hindari sejak tadi, yang aku sadar betul mau tak mau pasti akan kita bicarakan. Tema yang membuatku tidak bisa menahanmu untuk tetap di sini, dan terpaksa harus merelakanmu pergi lagi. Tema yang mungkin menjadi hal yang paling ingin kamu bahas, sampai-sampai kamu nekat ke Indonesia meski untuk waktu yang sangat sebentar. Dan dari penjelasanmu tadi, kedatanganmu di sini sepertinya memang hanya untuk menemuiku, khususnya membahas tema itu.

Insya Allah, minggu depan. Mau kirim undangan, gak tau harus kirim ke mana”

WawSalut. Sama siapakah? Di mana?” “Sama seorang perempuan.”

“Lucu. Sekalian aja kamu bilang sama mahluk bumi.”

“Anak teman bapakku, di Bandar Lampung. Bakal seru banget kalau di

nikahanku nanti ada tamu dari luar negeri”

Dari ekspresimu, kamu masih belum percaya. Atau mungkin belum menerima. Dan aku, terpaksa harus bersandiwara. Pura-pura merasa ini adalah kabar baik baik yang kamu akan senang kalau mendengarnya.

Gak nyangka aku nikah?” “Gak nyangka secepet ini.” “Kakak?”

“Aku.. Yang pasti gak mau kalah sama kamu. Enak aja. Tunggu undangan

dari Aku ya..” “Udah ada, Kak?” “Undangannya? Belumlah Dek..” “Calonnya”

Mulutmu terkunci untuk kesekian kalinya. Dari sini bisa kurasakan detak

jantungmu makin cepat. Ekspresi wajahmu sudah sangat mewakili kegugupan yang kini sedang menderamu. Aku paham betul ekspresi itu, tak perlu kamu coba menyembunyikannya.

“Segera pokoknya, tunggu aja.. Oh iya, aku baru inget. Lima tahun gak ke Indonesia, masa aku gak nemuin Tasya, sahabatku, tempat kuberbagi keluh kesah dulu”

Aku yakin betul itu tidak masuk dalam rencanamu. Kamu hanya sudah tak kuat lagi di sini. Kamu sudah tak punya daya lagi untuk bercengkerama dengan seorang laki-laki yang beberapa hari lagi akan menikah dengan perempuan lain. Aku lebih yakin itu.

“Iya, sekalian biar gak terlalu jauh besok ke Bandara, rumahnya masih di

tempat yang dulu, kan?”

“Masih. Dia udah nikah dan kabar terakhir yang aku dengar baru aja

punya anak. Lucu, mirip banget sama ibunya.”

“Waduh.. Bisa-bisanya dia.. Aku makin gak sabar nih buat ketemu dia, pipinya masih bantal gak ya? Hehe.. Pokoknya hal pertama yang bakal aku lakuin kalau ketemu dia nanti adalah nyubit pipi tembemnya. Yaudah, aku gak bisa lama-lama lagi nih kayaknya”

“Mau dianter?”

Gak  usah,  Dek.  Naik  taksi  aja,  masih  mau  nostalgia  dengan  taksi Indonesia nih”

Ada-ada aja. Gak ada alesan yang lebih logis untuk nolak tawaranku apa, Kak?”

Itu udah logis banget. Yaudah deh, ini kiwinya jangan lupa ditaro di kulkas, biar tetep seger. Aku berangkat lagi ya,..”

Kamu berdiri. Kita yang sedari tadi duduk berhadapan di kedai ini berdiri. Menjauhi dua cangkir kopi yang hanya jadi tiket sosial untuk kita duduk lama di sini karena tak kita sentuh sama sekali.

“Hati-hati ya, ada nomor telepon?”

Kamu hanya diam dan terseum.

“Terlalu bahaya, kata ayah”

“Payah. Jadi, gimana aku bisa hubungin Kakak?” “Buat apa?”

Aku terdiam sejenak. Pertanyaan yang sama bagiku: buat apa?

“Oke deh, pokoknya ini nomor teleponku, alamat facebook, email, twitter,

masih yang lama”

Aku menyerahkan kartu nama.

“Oke, mudah-mudahan ayah ngasih izin untuk ke warnet. Tapi susah sih, dia masih trauma dengan teror-teror dulu, jadi sama sekali gak mau komunikasi  dengan  orang-orang  di  Indonesia,  termasuk  ngelarang semua anggota keluarganya untuk ke warnet. Oh iya, maaf ya gak bisa dateng ke nikahan kamu, Dek. Salam aja buat…. Siapa?”

“Aira”

“Iya, Aira. Semoga lancar ya pernikahannya. Nanti didoain deh dari New Zealand”

“Kakak berdoanya di bawah pohon Kiwi ya” “Loh, Kenapa?”

“Biar keren

Kamu berjalan menjauh. Terburu-buru. Tampak sekali itu. Kamu, apa yang kamu rasakan saat ini? Adakah sama dengan yang kurasakan? Adakah lautan sesal yang membuncah, atau semangat yang tiba-tiba redup? Atau harapan yang tiba-tiba pupus?

Andai saja kamu hadir di sini satu bulan yang lalu. Andai saja kamu tidak pernah pergi. Andai saja lima tahu  lalu rasa ini sudah terkembang jadi kata, untuk kemudian meresmikan cinta kita dan bukan hanya merayakan luka.

Sebelum kamu keluar dari pintu restoran, kamu menatapku sekali lagi sambil melambaikan tangan. Lambaian tangan yang terakhir (?).

———————————————————————————————

Renjana, adalah bab pertama dari Novel ‘Tuhan Maha Romantis’, buku ke-2 Azhar Nurun Ala setelah buku pertamanya Ja(t)uh— yang merupakan kumpulan Prosa.

Insyaallah ‘Tuhan Maha Romantis’ akan segera terbit di Januari

2014.

Info perkembangan dan Pre-Order ‘Tuhan Maha Romantis’ akan selalu di-update di

@azharologia azharologia.com

Tinggalkan komentar